Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Tauhid dalam Penjelasan Imam Khomeini (1)

Tauhîd (توحيد) secara bahasa dalam ilmu sharaf atas wazan (pola dasar kata) taf’îl. Ialah untuk penekanan pada satu. Artinya, perhatian yang tinggi dan serius terhadap ketunggalan. Atau untuk mengkaitkan obyek pada perbuatan (maf’ûl pada fi’l), seperti takfîr (mengkafirkan; mengkaitkan pada kekufuran). Tapi menurut sebagian ahli, penggunaan kata takfîr tidak demikian, melainkan dalam arti seruan pada kekufuran. Namun demikian, kata “tauhîd ialah dalam arti pengkaitan pada ketunggalan.

Tauhid pada hakikatnya adalah prinsip semua prinsip ma’rifat. Darinya bercabang banyak ranting keimanan dan ma’rifat, serta sifat-sifat batin nuraniyah yang sempurna. Ia adalah dasar seluruh pemikiran yang sarat nilai. Atas dasar inilah kita meyakini bahwa Sang Pencipta alam semesta dan seluruh wujud adalah Allah swt Yang Maha mengetahui dan menguasai segala sesuatu. Tauhid mengajarkan kita:

Pertama, manusia harus pasrah dan patuh kepada Allah swt. Tidak kepada yang lain, terkecuali kepatuhan itu adalah karena Allah. Maka manusia tidak berhak sama sekali memaksa orang lain untuk patuh dan tunduk kepadanya. (Baca: Munajat Taubat)

Kedua, kebebasan manusia; tak seorang pun yang berhak melarang orang lain atau masyarakat atau kelompok dari kebebasan.

Tauhid: Teoritis dan Praktis

Semua tujuan para nabi bermuara pada satu kata, yaitu ma’rifatullah (mengenal Allah). Sekiranya seruan mereka adalah amal saleh, penyucian diri dan ilmu, semua ini berujung pada satu pangkal yang terdapat di dalam fitrah seluruh manusia. Semua nabi bertujuan menyingkap tabir terhadap titik utama itu, yaitu ma’rifatullah.

Sesungguhnya Alquran dan hadis mempunyai target, yaitu menjernihkan akal dan menyucikan jiwa. Hal demikian adalah untuk mencapai target utama, ialah tauhid. Manusia selama jiwanya tidak mencapai kejernihan batin dan kesempurnaan, dirinya tidak akan menjadi tempat manifestasi sifat-sifat kesempurnaan dan ma’rifat yang sejati. (Baca: Doa-doa Kemudahan Rezeki dari Imam Ja’far Shadiq as)

Sesungguhnya semua tindakan konseptual dan akhlak itu sebagai mukadimah bagi ma’rifat ilahiyah, dan ma’rifat inipun merupakan mukadimah bagi hakikat tauhid, yang adalah puncak tujuan bagi perjalanan spiritual manusia.

Dalam pandangan penulis at-Tauhid fi Kalam al-Imam al-Khumaini, semua ilmu termasuk ilmu tauhid merupakan penerapan (amaliyah). Penjelasannya:

1-Terinspirasi dari kata “tauhîd” yang adalah taf’îl -yakni menerapkan ketunggalan. Karena menurut aturan pecahan kata (dalam bahasa Arab), tauhid adalah adalah perhatian dari hal banyak ke tunggal dan menjadikan semua sisi banyak terhimpun dalam sebuah himpunan. (Baca: Kesabaran – 1)

Pengertian tersebut tak didapati melalui argumentasi, tetapi dengan penyadaran batin melalui pelatihan spiritual dan dengan tawajuh atau berpaling kepada Sang Khalik melalui penerapan argumen. Dengan demikian hakikat tauhid dicapai.

Argumentasi mengatakan kepada kita bahwa tiada penyebab di dalam wujud kecuali Allah. Ialah salah satu makna kalimat “lâ ilâha illallâh”.

Dengan pemikiran tersebut kita putus “tangan” kuasa makhluk-makhluk dari kemaha besaran Sang Khalik dan mengembalikan segala alam dan kuasa atasnya kepada Sang Pemilik yang menciptakannya. Namun demikian, perkara argumentatif ini jika tidak sampai pada hati dan tidak menjadi konsep batini bagi hati, kita tidak akan sampai –berangkat dari ilmu- pada garis iman.

Selama perkara argumentatif itu tidak turun ke hati, kita tidak akan menerima peran cahaya iman yang menerangi wilayah batiniah dan lahiriah. Pada posisi ini kita mempunyai (banyak) ilmu argumentasi terkait masalah yang sangat penting dan mendasar ini, tetapi kita tahu apa-apa tentang tauhid menjadi pelipur lara bagi para ahli ma’rifat yang dekat dengan Allah. (Baca: Cinta dalam Penantian)

Kita menabuh genderang “tiada penyebab dalam wujud kecuali Allah”, pada saat yang sama kita membuka mata keserakahan dan menengadah tangan kepada selain-Nya.

2-Ilmu tauhid mempunyai pengamalan batiniah dan lahiriah. Tauhid –dari sisi taf’îl (yang telah dijelaskan di atas)- adalah mengembalikan banyak ke tunggal. Ini merupakan pengamalan spiritual dan batiniah.

Selama kita masih berada di dalam apa yang merupakan banyak tindakan, tanpa mengenal Kausa Sejati; penyaksian “mata” akan Dia Yang Mahabenar; dan panji Kuasa Tunggal tidak berkibar di hati, kita jauh dari ketulusan secara total dan tersisih dari tauhid.

Hal memandang seseorang –yang sejatinya lemah dan bergantung- sebagai penyebab di alam nyata dan kuasa di atas wilayah milik Sang Khalik, mana mungkin memandang diri sudah tidak perlu menarik perhatian orang lain, dan ikhlas dalam amalnya serta bersih dari sekutu syaitan? Jadi “mata” atau mataair (batin) ini harus jernih agar keluar darinya air yang jernih (amal yang ikhlas).

Referensi: At-Tauhid fi Kalam al-Imam al-Khumaini (1)

Baca Selanjutnya: “Tauhid dalam Penjelasan Imam Khomeini (2)

 

No comments

LEAVE A COMMENT