Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Tazkiyah, Pendakian Tanpa Batas (1)

Takziyah nafs adalah gerakan pembersihan jiwa yang sudah menjadi kewajiban bagi setiap mukmin hingga akhir hayatnya. Dalam proses ini, sejauh apapun manusia bergerak dia tidak akan pernah sampai pada titik yang membuatnya tak butuh lagi kepada mujahadah menggalang ketakwaan dan tazkiyah. Alasannya ialah dua faktor sebagai berikut;

Pertama, kesempurnaan adalah hakikat yang tak berbatas, dan kesempurnaan mutlak adalah Allah SWT, sedangkan seorang hamba tidak mungkin suatu saat mencapai jenjang kesempurnaan tanpa batas. Karena itu tak mungkin suatu saat dia layak merasa sudah cukup sempurna.

Kedua, seandainya ada seorang salik atau peniti jalan takziyah bermaksud berhenti pada jenjang tertentu dalam pendakiannya maka keberhentian itu bukan lagi bermakna berhenti pada tahap itu, melainkan berarti kemunduran dan ketergelinciran secara otomatis. Persis seperti tubuh yang melemah dan bahkan sekarat ketika tak lagi mandapatkan asupan nutrisi.

Baca: Tazkiyah di Balik Bentuk dan Tatacara Shalat (1)

Sedikit sekali orang yang bisa mencapai jenjang yang disebutkan Allah SWT dalam firmanNya;

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنْ الْغَاوِين.

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami anugerahkan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan, maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. (QS. al-A’raf [7]: 175).

Ditafsirkan apapun anugerah itu, baik berupa Asma’ Allah, pengetahuan tentang kitab suci, atau apa saja, tetap jelas bahwa ungkapan itu menunjukkan betapa orang itu telah mencapai jenjang yang sangat tinggi dan sedikit sekali orang yang dapat mencapainya. Sungguhpun demikian, orang itu ternyata masih belum aman dari ketergelinciran, sehingga Allah SWT berfirman;

فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الغَاوِينَ * ولَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلكِنَّهُ أَخْلَدَ إلى الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ.

Kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan, maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS. al-A’raf [7]: 175 – 176)

Baca: Tazkiyah di Balik Bentuk dan Tatacara Shalat (2)

Sedikit pula manusia yang dapat mencapai jenjang yang dicapai iblis yang bahkan disebutkan pernah menjadi guru bagi para malaikat, dan dalam Nahjul Balaghah  Khutbah 192 Imam Ali bin Abi Thalib as bertutur;

فاعتبروا بما كان من فعل الله بإبليس إذ أَحبط عمله الطويل وجهده الجهيد ـ وكان قد عبد الله ستَّة آلاف سنة لا يُدرى أَمن سِني الدنيا أم من سِني الآخرة ـ عن كبر ساعة واحدة، فمن ذا بعد إبليس يسلم على الله بمثل معصيته؟! كلاَّ ما كان الله سبحانه ليُدخِل الجنَّة بشراً بأمر أَخرج به منها ملكاً، إِنَّ حكمه في أهل السماء وأهل الأرض لواحد، وما بين الله وبين أحد من خلقه هوادة(3) في إِباحة حمىً حرَّمه على العالمين.

“Maka petiklah pelajaran dari apa yang dilakukan Allah terhadap Iblis, yaitu ketika Allah telah menghapus amal perbuatannya yang panjang dan jerih payahnya yang besar – dia telah menyembah Allah selama 6000 tahun- hanya lantaran kesombongannya yang sesaat. Jika iblis ternyata sedemikian rupa lantas bagaimana mungkin seseorang akan selamat di sisi Allah jika berbuat maksiat seperti iblis? Sekali-kali tidak, Allah tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga dengan perkara yang membuat seorang malaikat dikeluarkan dari sana. Sesungguhnya hukum Allah bagi penghuni langit dan penghuni bumi sama saja. Tak ada pilih kasih antara Allah dan siapapun di antara makhlukNya sehingga Dia lantas membolehkannya (melanggar) larangan yang Dia haramkan bagi semesta alam.”

tangga langitKisah tragis kejatuhan seorang manusia juga telah dialami oleh sosok yang pernah menjadi salah seorang kepercayaan Imam Hasan al-Askari as, Mohammad bin Ali bin Bilal, sebagaimana disebutkan dalam Mu’jamu Rijal al-Hadits, jilid 16 hal. 309. Sedemikian tinggi kedudukan spiritual sosok itu sehingga juga pernah menjadi tokoh yang selalu ditanya dan diminta petunjuknya oleh Abu al-Qasim Husain bin Ruh yang di kemudian hari menjadi salah satu wakil khusus Imam al-Askari as. Mohammad bin Ali bin Bilal akhirnya ternyata cenderung kepada dunia, tergoda oleh hawa nafsunya yang hina, dan menjadi pengikut sekte Babiyah, sehingga Imam Mahdi as melalui Abu Jakfar Muhammad bin Usman menyatakan berlepas diri darinya.

Baca: Maulid Nabi saw. Perayaan Seremonial Semata?

Sebagaimana tertera dalam Bihar al-Anwar jilid 2 hal. 29, Imam Ali as berkata;

الدنيا كلُّها جهل إِلاَّ مواضع العلم، والعلم كلُّه حُجَّة إلاَّ ما عمل به، والعمل كلُّه رياء إلاَّ ما كان مخلصاً، والإِخلاص على خطر حتّى ينظر العبد بما يُختَم له.

“Semua dunia itu bodoh kecuali tempat-tempatnya ilmu, dan semua ilmu itu hujjah kecuali yang diamalkan, dan semua amalan itu riya’ kecuali dilakukan dengan ikhlas, dan ikhlas masih berada dalam marabahaya sampai seorang hamba melihat apa yang menjadi penutup baginya.”

(Bersambung)


No comments

LEAVE A COMMENT