Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)

Hukum Pekerjaan yang Terkait dengan Bisnis Haram

           poto-bisnis-halal Masalah yang akan dibahas ini ialah tentang hukum perniagaan yang perlu diketahui oleh setiap mukallaf. Khususnya bagi orang yang menggelutinya, adalah wajib jika hal tidak mempelajarinya berakibat terjerumus pada pelanggaran taklif ilzâmi (yang bersifat harus).

Dalam buku “Fatwa-fatwa 2” pada soal 1, adalah contoh dari perdagangan benda najis. Si penanya ingin mengetahui hukum membeli binatang babi hasil buruan Dinas Perburuan atau petani setempat, untuk diekspor ke negara-negara non muslim.

Penulis akan membawakan teks jawaban Ayatullah al-‘Uzhma Sayed Ali Khamenei, yang diterjemahkan sebagai berikut:

“Tidak diperbolehkan membeli dan menjual daging babi sebagai makanan manusia, meskipun pembelinya non muslim. Namun, jika daging itu mempunyai kegunaan-kegunaan (lain) yang dapat diterima oleh orang-orang berakal, dan berguna seperti menjadi pakan binatang atau lemaknya dimanfaatkan dalam pembuatan sabun dan sebagainya, maka jual-belinya tidak dilarang.”

Dapat kita petik dari fatwa ini, pertama bahwa hukum perdagangan benda najis seperti daging babi untuk dimakan oleh manusia adalah haram, walaupun si pembeli bukan orang Islam.

Kedua, jika dibuat untuk pakan binatang, atau untuk diambil lemaknya sebagai bahan sabun dan sebagainya, apabila dapat diterima oleh ‘uqala` (orang-orang berakal) menjadi sesuatu yang membawa manfaat (selain untuk makanan manusia), maka perniagaan semacam itu tidak dilarang syariat.

Pembagian Mu’amalah

Mu’amalah tak terbatas pada jual beli. Ia terbagi pada yang haram dan yang halal. Yang pertama, jelas terlarang dalam syariat, dan pelakunya layak dihukum. Di samping itu ada juga mu’amalah yang batil (tidak sah). Yakni, tidak tergolong pertukaran barang. Seperti jual beli khamar, di samping mu’amalah ini haram, juga dihukumi batil. Dua pelakunya (penjual dan pembeli) layak dihukum.

Yang kedua, ialah mu’amalah yang sah dengan mengindahkan persyaratannya. Seperti jual beli rumah, mobil dan lain sebagainya.

Mu’amalah yang haram ada empat macam:

1-Mu’amalah hal najis

2-Mu’amalah di jalan yang diharamkan.

3-Mu’amalah sesuatu yang tidak dipedulikan manfaat halalnya.

4-Mu’amalah dengan perbuatan yang diharamkan.

 

 Bisnis Hal Najis

            Obyek mu’amalah yang terkadang berupa benda najis, dan terkadang berupa benda yang terkena najis, dalam pembahasannya dibedakan. Adapun yang berupa benda najis, misalnya khamar, yang hukum mu’malahnya jelas haram dan batil. Tetapi mu’amalah benda najis tidak mutlak menjadi haram atau batil.

Misal lainnya ialah bangkai, darah dan babi. Pada contoh yang pertama, yaitu bangkai, bahwa jual-belinya menjadi dibolehkan apabila memiliki kegunaan halal, seperti digunakan untuk pengobatan yang bukan untuk dimakan (oleh manusia), dan untuk pakan binatang buas.

Pada contoh yang kedua, jual-beli darah manusia tidaklah masalah. Demikian halnya dengan darah binatang dengan syarat untuk kegunaan yang halal. Sedangkan untuk kegunaan haram, seperti untuk dimakan dan diminum, hukumnya haram.

Kembali pada fatwa di atas yang merupakan contoh dari mu’amalah benda najis seperti binatang babi, jika mu’amalahnya untuk makanan manusia sebagaimana umumnya demikian, menurut fatwa tersebut diharamkan, dan transaksinya batil. Karena mu’amalahnya untuk kegunaan haram.

Namun jika untuk kegunaan halal, seperti pemanfaatan dagingnya untuk pakan binatang di kebun binatang, transaksi yang demikian tidak dilarang syariat. Atau untuk diambil bulunya untuk bahan pembersih, misalnya.

Hukum Pekerjaan yang Terkait dengan Haram

            Fatwa selanjutnya ialah pada soal 2, mengenai bekerja di tempat-tempat terkait dengan haram, seperti di pabrik pengalengan daging babi, klab-klab atau pusat-pusat maksiat. Apa hukumnya?

Ayatullah al-‘Uzhma Sayed Ali Khamenei menjawab: “Tidak dibolehkan bekerja dalam hal-hal yang diharamkan oleh syariat, seperti menjual daging babi, minuman keras, membangun dan mengelola klab-klab malam, atau pusat-pusat maksiat, kebejatan, perjudian, minum minuman keras, dan sebagainya. Maka menjadikannya sebagai mata pencarian, diharamkan, dan gaji dari pekerjaan tersebut tidak dapat dimikili (sebagai kekayaan).

 

Referensi:

1-Masail al-Muntakhabah.

1-Fatwa-fatwa 2.

2-Resale-e Amuzesyi II.

 

Ustad Muhammad Ilyas

No comments

LEAVE A COMMENT