Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)

Imâmah adalah kepemimpinan general dalam urusan agama dan dunia. Definisi ini lebih dekat dengan definisi dari Syiah Imamiyah, yang disertai dengan sifat ilahiah bagi kepemimpinan ini.

Di sana terdapat definisi-definisi lainnya, bahwa imamah adalah khilafah (menggantikan) Rasulullah dalam menegakkan agama dan wajib diikuti seluruh umat; atau mewakili pemegang syariat dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Namun sebelum itu, perlu dikaji sebuah soal yang mendasar; apakah imamah; kepemimpinan umat sepeninggal Rasulullah saw, adalah bagian dari ushul ataukah furu’? Yakni, merupakan dasar agama, ataukah cabangnya?

Menurut ulama seperti Ghazali, Amidi, Eiji dan Taftazani, imamah adalah masalah furu’. Ia bukanlah masalah yang mendasar atau bagian dari ushuluddin dan perkara-perkara yang urgen. Tetapi ialah masalah furu’, dan bagian dari perkara-perkara kefikihan. Selain itu akan menimbulkan fanatisme, fitnah dan perseteruan. Hal tidak mendalaminya lebih selamat dan lebih diinginkan daripada mendalaminya.

Jika imamah merupakan furu’:

Pertama, tidak semestinya menghunuskan pedang demi perkara furu ini! Syahrestani mengatakan: “Perselisihan terbesar di antara umat adalah perselisihan imamah. Di dunia Islam belum pernah pedang terhunus atas sebuah prinsip keagamaan seperti atas imamah di setiap zaman.”

Kedua, jika meyakini imamah seseorang adalah bagian dari furu’, maka hal bertentangan dengan keyakinan ini tidak membawa pengkafiran terhadap orang yang kontra dengannya.

Ketiga, jika imamah merupakan furu’, mengapa atau bagaimana dengan Imam Hanabilah, Abu Ja’far Thahawi dan Abul Hasan Asy’ari, memasukkan imamah dalam permasalahan ushul, bahwa “Sebaik-baik umat sesudah Nabi kita adalah.. khulafa`ur rasyidin.”?

 

Kekuasaan Politik Legalisasi Imamah!?

Alhasil sebagian ulama kalâm sepakat bahwa imamah bagian dari furu’, sedangkan Syiah Imamiyah sepakat atas keushulannya.

Yang pertama, memandang imam seperti pemimpin negara (presiden), yang dipilih oleh rakyat atau perwakilannya, atau yang menguasai negara dengan kekuatan militer, dan sebagainya. Jelas keyakinan akan kepemimpinan presiden republik atau perdana menteri, bukanlah bagian dari ushul.

Yang kedua, Syiah Imamiyah memandang imamah sebagai pelanjutan tugas-tugas risalah, dan bukan risalah itu sendiri. Karena risalah dan nubuwah ditutup dengan wafatnya Rasulullah saw. Penerapannya bergantung pada hal memenuhi syarat-syarat kelayakan yang unggul, yang takkan dicapai seseorang kecuali ia dalam bimbingan ilahiah yang khusus. Seorang imam menggantikan kedudukan Nabi saw dalam keilmuan, keadilan dan kepemimpinan yang bijaksana, dan urusan-urusan lainnya.

Menurut Ahlussunnah, imamah seperti politik temporal yang diterapkan melalui suatu cara dan dengan persyaratan. Imam dalam pandangan Baqlani, Thahawi, Taftazani dan lainnya, wajib ditaati sekalipun ia lalim dan haram menentangnya. Tak ubahnya seorang politikus umumnya yang memimpin umat dalam kehidupan duniawi.

Seandainya ia berbuat fasik dan aniaya, hal ini tak berpengaruh negatif bagi kedudukannya sebagai pemimpin umat. Seperti halnya kekuasaan yang diraih melalui paksaan, kekerasan dan peperangan, sebagai salah satu jalan yang melegalkan imamah baginya. Jika demikian, tidak masalah imamah ditempatkan di dalam furu’.

 

Kriteria Imam dalam Pandangan Furu’

Seorang imam (khalifah) disyaratkan oleh Baqlani (403 H) dengan empat sifat, antara lain:

1-Seorang Quraisy asli. Taftazani mengatakan: Jika tak didapati dari Quraisy, bisa dari Kinanah. Jika tak ada, maka dari anak keturunan Ismail (as). Jika tak ada juga, maka dari bangsa Ajam.

2-Berpengetahuan setingkat orang yang layak menjadi qadhi (pemutus perkara). Abdul Qadir Baghdadi (429 H), mensyaratkan keilmuannya mencapai tingkat ijtihad dalam semua hukum, termasuk masalah halal dan haram.

3-Memiliki pandangan jauh dan dalam terkait urusan perang, ketentaraan dan penugasan. Juga dalam memenuhi kekurangan, menjaga keutuhan dan melindungi umat. Menindak pelaku penindasan..

4-Persyaratan lainnya yang disebutkan oleh Abdul Qahir Baghdadi, ialah: adil dan wara’, minimal kesaksiannya dapat diterima. Dalam tindakan-tindakan besar tidak mengharapkan bantuan orang-orang bawahan.

5-Selain itu di antara tujuh syarat yang disampaikan Abul Hasan Baghdadi Mawardi (450), ialah kesehatan fisik dan sifat berani.

6-Ibnu Hazam (456 H) menambahkan dari delapan syarat menurutnya, di antaranya: balig, laki-laki, muslim, terdepan dalam urusannya, tidak melakukan kerusakan terang-terangan di muka bumi, dan tidak di bawah otoritas lain.

7-Qadhi Sirajuddin Armawi menyebutkan sembilan sifat, salah satunya ialah merdeka.

8-Taftazani (791 H) juga menyampaikan di antaranya, seorang imam harus menghidupkan syariat, menegakkan sunnah, membela kaum lemah dan memenuhi hak-hak manusia.

Sebagai catatan atas persyaratan di atas:

Pertama, perbedaan jumlah persyaratan di atas dikarenakan bagi mereka tiada nash syar’i dalam masalah imamah, dan keyakinan bahwa imamah tidak dinashkan oleh Nabi saw. Melainkan adanya bagi mereka nash-nash umum yang tidak mencakup untuk menentukan persyaratan itu dan untuk menjelaskan pemerintahan Islam sesudah Nabi saw. Sumber bagi persyaratan tersebut adalah istihsan mereka, pertimbangan-pertimbangan rasional dan sisi tujuan-tujuan yang diwujudkan oleh khalifah sepeninggal Nabi saw.

Kedua, sifat adil yang disebutkan tak sesuai dengan pandangan mereka bahwa imam tidak dapat lengser karena kefasikannya. Jika “ulil amr” dalam QS: an-Nisa 59 adalah termasuk penguasa yang memerintah dengan logika kekuatan, terlepas memenuhi persyaratan atau tidak, apakah wajib ditaati? Jika ya, tidak sesuai dengan persyaratan di atas.

Ketiga, sejarah Islam membuktikan bahwa para khalifah pasca kekhalifahan Imam Ali as, tidak memenuhi sebagian besar dari syarat-syarat kelayakan itu.

 

Referensi:

Al-Ilahiyat ala Huda al-Kitab wa as-Sunnah wa al-Aql (4)/Ayatullah Syaikh Ja’far Subhani.

 

Post Tags
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT