Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Membedah Makna Zuhud (7/Selesai)

Mustaghni

Di luar lima kategori keadaan yang disebutkan oleh al-Ghazali terdapat satu lagi keadaan yang lebih tinggi daripada zuhud, yaitu keadaan seseorang di mana baginya sama saja antara memiliki dan tidak memiliki harta. Dia tidak gembira lantaran memiliki, dan tidak pula bersedih lantaran tidak memilikinya. Dia tidak akan celaka seandainya harta benda melimpah ruah di tangannya, karena dia merasa harta benda itu hanyalah titipan dan amanat dari Allah SWT sehingga baginya sama saja  antara ada di tangannya dan ada di tangan orang lain.

Orang yang demikian dapat disebut “mustaghni” (tidak butuh), karena baginya tidaklah penting memiliki maupun tidak memiliki harta. Ini berbeda dengan kondisi orang yang kaya harta (ghaniy) karena dia bergembira dengannya sehingga butuh kepada keterpeliharaan harta di tangannya. Dia mungkin  saja sudah tidak butuh kepada harta tambahan tapi dia butuh kepada kelanggengan harta itu di tangannya. Karena itu di satu sisi dia dapat disebut “fakir” (berkebutuhan).

Sedangkan seorang mustaghni tidak butuh kepada kedatangan maupun kebertahanan harta di tangannya. Dia sama sekali tidak terusik oleh lepasnya harta dari tangannya. Dia layak disebut “mustaghni”, bukan “ghaniy” (kaya/tidak berkebutuan secara mutlak) karena bagaimanapun juga dia masih berkebutuhan kepada hal-hal yang pokok. Sedangkan kata dan sifat “ghaniy” jika berkenaan dengan Allah SWT maka berarti Maha Kaya, yakni tidak berkebutuhan secara mutlak kepada apapun.

Seorang mustaghni tidak membutuhkan harta, namun membutuhkan pertolongan dan taufik dari Allah agar tetap bisa tetap menyandang predikat mustaghni.  Predikat ini merupakan anugerah Allah yang menghiasai kalbunya. Orang yang hatinya terikat harta adalah budak harta, sedangkan yang tak butuh kepadanya adalah orang yang bebas dan merdeka. Namun, karena dia bebas dan merdeka adalah karena pertolongan Allah jua maka dia senantiasa memerlukan kontinyitas pertolongan ini.

Maksum Dan Non-Maksum

Banyak dikisahkan bahwa para zahid selalu menjauh dari harta. Kisah demikian tentunya berkenaan dengan orang yang kuatir tertipu oleh dunia dan takut terjerumus kepada godaan syahwat. Ketakutan ini membuat mereka bahkan membenci harta benda. Sikap demikian mencerminkan kelemahan dirinya namun wajar karena hampir semua orang tidaklah berdaya di depan godaan dunia. Hanya sedikit manusia yang tak terpedaya oleh godaan dunia. Mereka adalah para nabi dan insan maksum.

Pertanyaannya, mengapa para insan maksum yang sudah tangguh dan sempurna itu ternyata juga memperlihatkan sikap menjauh dari dunia sehingga tak ubahnya dengan manusia-manusia lemah lainnya? Jawabannya ialah karena para insan maksum itu sengaja merendah seperti manusia yang lain, karena para insan maksum adalah teladan bagi yang lain. Dalam hal ini insan maksum adalah ibarat seorang pawang ular yang dalam kehidupan sehari-hari di rumahnya tetap saja menjauh dari ular demi keselamatan anak-anaknya atau orang lain.  Dia tetap berusaha hidup normal seperti orang pada umumnya agar orang-orang lain selamat.

Kesimpulan

Apa yang dapat dimengerti dari kitab suci, sunnah Nabi saw dan riwayat-riwayat Ahlul Bait as ialah bahwa hal yang terpuji di mata agama bukanlah lari dari kenikmatan duniawi yang dihalalkan atau menjauhinya secara berlebih dari kadarnya yang rawan mencelakakan. Sebaliknya,  beberapa hal yang terpuji ialah sebagai berikut;

Pertama, menjauhi hal-hal yang haram dan syubhat.

Kedua, tidak terlalu bergembira atas nikmat yang didapat, dan tidak pula terlalu bersedih atas nikmat yang hilang.

Ketiga, yang bermaslahat bagi kebanyakan manusia adalah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer (al-kafaf) karena lebih dari itu akan dapat menjauhkan pikiran dan jiwa dari Allah.

Keempat, pengorbanan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;

… وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ.

“Dan mereka mengutamakan atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.”[1]

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ.

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”[2]

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً.

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.”[3]

Kelima, kondisi dan potensi manusia berbeda satu sama lain menyangkut kemaslahatannya. Ada manusia yang lebih berpotensi untuk memperoleh keberuntungan sejati apabila dia miskin, dan ada pula yang lebih berpotensi demikian apabila dia kaya.

Diriwayatkan dari Imam Muhammad al-Baqir as bahwa tentang ini terdapat hadis qudsi dimana Rasulullah saw bersabda bahwa Allah SWT berfirman;

إنّ من عبادي المؤمنين عباداً لا يصلح لهم أمر دينهم إلاّ بالغنى والسعة والصحّة في البدن، فأبلوهم بالغنى والسعة وصحّة البدن، فيصلح عليهم أمر دينهم. وإنّ من عبادي المؤمنين لعباداً لا يصلح لهم أمر دينهم إلاّ بالفاقة والمسكنة والسقم في أبدانهم، فأبلوهم بالفاقة والمسكنة والسقم، فيصلح عليهم أمر دينهم. وأنا أعلم بما يصلح عليه أمر دين عبادي المؤمنين…

“Sesungguhnya di antara hamba-hambaKu yang beriman terdapat hamba-hamba yang tidak akan menjadi baik baginya urusan agamanya kecuali dengan kekayaan, kelapangan, dan kesehatan jasmani, maka Aku menguji mereka dengan kekayaan, kelapangan, dan kesehatan jasmani sehingga baiklah urusan agama mereka. Dan ada pula di antara hamba-hambaKu yang beriman hamba-hamba yang tidak akan menjadi baik baginya urusan agamanya kecuali dengan kekurangan, kemiskinan dan penyakit jasmani sehingga Aku menguji mereka dengan kekurangan, kemiskinan dan penyakit sehingga membaiklah urusan agama mereka. Dan sesungguhNya Aku lebih mengetahui apa yang baik baginya urusan agama hamba-hambaKu yang beriman….”[4]

(Selesai)

[1] QS. Al-Hasyr [59]: 9.

[2] QS. Ali Imran [2]: 92.

[3] QS. Al-Insan [76]: 8.

[4] Ushul al-Kafi, jilid 2, hal. 60 – 61, Kitab al-Iman wa al-Kufr, Bab al-Ridha bi al-Qadha’, Hadis 4.

Post Tags
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT