Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Shalat Cegah Perbuatan Keji, Benarkah?

Untuk membahas betapa pentingnya sembahyang atau mendirikan shalat dalam proses tazkiyah, pertama langsung saja kita simak firman Allah SWT;

… أَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ.

“…Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.

Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.[1]

Kita mungkin bertanya-tanya apa makna pemberitahuan Allah SWT dalam firmanNya ini bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar? Sebab kita tahu bahwa shalat yang dilakukan kebanyakan orang ternyata tidak mencegah mereka dari perbuatan itu. Banyak orang shalat tapi masih saja berbuat nista dan dosa.

Baca: Fikih Quest 120: Syarat dan Waktu Pelaksanaan Salat Tahajud

Sepintas lalu terlihat demikian, tapi pada hakikatnya shalat memang mencegah perbuatan keji dan mungkar. Hanya saja, kadar ketercegahan orang yang shalat dari perbuatan itu bergantung pada kualitas kehadiran dan kekhusyukannya di hadapan Sang Maha Kuasa ketika mendirikan shalat. Bayangkan, bagaimana mungkin seseorang dapat dengan suka rela dan senang hati lima kali sehari menghadap seorang raja, misalnya, dan di situ dia selalu menyaksikan keagungan dan kebesarannya lalu dia tidak terdorong untuk meninggalkan perbuatan yang dilarang oleh raja itu, meskipun hanya sebagian di antaranya? Sudah tentu sedikit banyak ada kecenderungan dalam dirinya untuk mematuhi sang saja.

Nah, jika kehadiran di hadapan sosok raja saja yang sejatinya juga papa dan tak berdaya ternyata menimbulkan kecenderungan demikian maka kehadiran di hadapan Sang Maha Kuasa tentu saja pengaruhnya akan lebih besar, betapapun sifatNya sebagai Maha Pengasih terkadang juga membuat sebagian hamba cenderung berani berbuat maksiat kepadaNya.

Tingkat ketercegahan orang yang shalat dari perbuatan keji dan mungkar bergantung pada tingkat kehadiran jiwanya di hadapan Allah SWT. Semakin kecil dan lemah kehadirannya, semakin lemah pula tingkat ketercegahannya. Karena itu, seandainya dia meninggalkan shalat maka dia akan semakin mudah terperosok ke jurang maksiat dan nista. Sebaliknya, orang yang sempurna kehadirannya di hadapan Allah SWT dalam menunaikan shalat atau dengan kata lain dia mendirikan shalat dalam arti yang sebenarnya maka ketercegahan dirinya perbuatan keji dan mungkar bisa mencapai atau mendekati tingkat kemaksuman.

Baca: Hal-hal yang Harus Dilakukan Muslim Syiah Saat Diminta Menjadi Imam Salat Bagi Muslim Sunni

Mengenai gambaran bagaimana seorang manusia dapat menunaikan shalat dengan tingkat kekhusyukan yang sempurna, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah saw mendapat hadiah berupa dua ekor unta betina. Satu ekor diantaranya kemudian beliau jadikan sebagai hadiah untuk orang paling khusyuk dan tak teringat pada persoalan duniawi dalam shalat dua rokaat. Orang yang paling khusyuk ternyata Imam Ali as sehingga Rasul saw bahkan menyerahkan dua ekor itu kepada Imam Ali as.[2]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu hari kaki Imam Ali as terkena panah, dan untuk mengeluarkan anak panah dari kakinya itu dengan seolah tanpa rasa sakit dia mendirikan shalat. Dan benar, sedemikian khusyuk dalam shalat sehingga dia seakan tak merasa sakit ketika orang lain mencabut panah itu dari kakinya.[3] Tentang ini al-Faidh al-Khasyani menyebutkan bahwa Sayyidah Fatimahlah yang menyuruh orang-orang supaya mencabut panah itu ketika Imam Ali as shalat.

أخرجوه في حال صلاته، فإنّه لا يحسّ بما يجري عليه.

“Keluarkan panah itu ketika dia sedang shalat, sungguh dia tidak akan merasakan apa yang terjadi padanya,” pinta Sayyidah Fatimah kepada mereka.[4]

Pada shalat dalam artinya yang sejati ada keniscayaan ketaatan kepada Allah SWT sehingga penunainya praktis tercegah dari perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah saw;

لا صلاة لمن لم يطع الصلاة، وطاعة الصلاة أن ينتهي عن الفحشاء والمنكر.

“Tiada shalat bagi orang yang tidak menaati shalat, dan ketaatan kepada shalat ialah hendaknya berhenti berbuat keji dan mungkar.” [5]

Riwayat lain dari Imam Jakfar al-Shadiq as menjelaskan betapa kita sebenarnya dapat mengetahui apakah shalat kita diterima atau tidak dengan cara melihat sejauhmana efek dan pengaruh shalat dalam perilaku kita sehari-hari. Dia berkata;

من أحبّ أن يعلم أقُبلت صلاته أم لم تقبل فلينظر هل منعت صلاته عن الفحشاء والمنكر، فبقدر ما منعته قبلت منه.

“Barangsiapa ingin mengetahui apakah shalatnya diterima atau tidak maka hendaknya dia melihat apakah shalatnya mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar. Shalatnya diterima sejauh shalat itu mencegahnya dari perbuatan itu.” [6]

Baca: Fikih Quest 104: Hukum Ikut Serta Salat Berjamaah di Saat Tersebar Virus Corona

Shalat juga diibaratkan sebagai air sungai jernih yang mengalir di depan rumah di mana setiap Muslim setiap hari diharuskan mendatangi sungai itu untuk mandi dan membersihkan kotoran dari dirinya sehari lima kali. Imam Jakfar al-Shadiq as meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda;

لو كان على باب دار أحدكم نهرٌ، فاغتسل في كلِّ يوم منه خمس مرّات أكان يبقى في جسده من الدرن شيء ؟ قلنا: لا، قال: فإنّ مثل الصلاة كمثل النهر الجاري كلّما صلّى صلاة كفّرت ما بينهما من الذنوب.

“Jika di depan rumah seseorang di antara kalian ada sungai lalu dia mandi lima kali sehari di situ, apakah dibadannya masih akan ada kotoran?” Kami berkata; “Tidak.” Beliau bersabda; “Sesungguhnya shalat adalah ibarat sungai yang mengalir, setiap dia menunaikan shalat maka shalat itu menutup dosa-dosa yang ada di antara dua shalat.”[7] (mz)

[1] QS. Al-Ankabut [29]: 45.

[2] Bihar al-Anwar, jilid 41, hal. 18.

[3] Tafsir Namuneh, jilid 4, hal. 428, dan Anwar al-Mawahib, hal. 160.

[4] Al-Mahajjah al-Baidha’, jilid 1, hal. 397 – 398.

[5] Tafsir Namuneh, jilid 16, hal. 286 – 287.

[6] Ibid.

[7] Al-Wasa’il, jilid 4, hal. 12, Bab 2 tentang jumlah shalat fardhu, hadis 3.


Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT