Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Tawasul kepada Nabi saw, Bid’ahkah?

Salah satu pembahasan yang terkadang muncul di bulan Maulid dan dalam acara-acara peringatan Maulid adalah perihal tawasul kepada Nabi. Sebagian kalangan menganggap tawasul tersebut sebagai praktik bid’ah yang tidak berdasar kepada Al-Qur’an dan sunah Nabi saw. Dan kalau pun ada praktik tawasul yang dibenarkan maka menurut mereka hanya tawasul yang dilakukan para sahabat di hadapan Rasulullah saw (saat beliau masih hidup). Itupun dilakukan dengan cara-cara yang sehat dan jauh dari syirik dan dalam pengawasan Nabi saw. Demikian kira-kira keterangan mereka.

Untuk menyumbangkan pemikiran di bidang ini dan supaya pembaca dapat berpikir dan menilai secara obyektif,apakah praktek tawasul,utamanya sepeninggal Nabi saw bid’ah dholalah (sesat) atau justru sunah maka kami turunkan tulisan berikut ini dengan dalil-dalil yang mendukung dan disepakati kaum Muslimin.

Dalil Pembenaran Tawasul

Orang-orang yang berpendapat tentang adanya pensyariatan tawassul melalui Rasulullah saw dan meminta syafaat melalui beliau di setiap masa, berdalih (beralasan) bahwa hal itu semua dengan ridha (izin) Allah sebelum menciptakan Nabi saw, pada waktu hidupnya dan setelah wafatnya, begitu pula pada hari kiamat nanti. Di bawah ini dalil yang menunjukkan hal itu:

Pertama, tawassul melalui Nabi saw sebelum penciptaan

Banyak ahli hadis di antaranya al-Hakim meriwayatkan dalam kitab “Al-Mustadrak” dari riwayat Umar bin Khottab ra yang bercerita bahwa tatkala Nabi Adam as melakukan suatu kesalahan, dia bekata: “Wahai Tuhanku, dengan hak milik Muhammad maka ampunilah aku.” Allah bertanya: “Hai Adam, bagaimana kau tahu (nama) Muhammad, sedangkan aku belum menciptakannya?” Adam menjawab: “Wahai Tuhanku, tatkala Engkau menciptakanku dengan tangan (kekuasaan)-Mu dan Engkau hembuskan pada diriku sebagian dari roh Mu, aku angkat kepalaku lalu aku melihat di atas tiang-tiang arasy tertulis: ‘Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Rasul (utusan) Allah.’Maka aku tahu (mengerti) bahwa Engkau tidak akan menambahkan (mensejajarkan/menyandingkan) di samping nama-Mu kecuali makhluk yang paling dicintai oleh Mu.” Lalu Allah berfirman: “Benar engkau hai Adam. Dia makhluk yang paling Ku-cintai. Maka berdoalah kepadaku dengan kedudukan Muhammad maka Aku akan mengampunimu. Kalau bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu.” At-Thabrani juga meriwayatkan hadis ini dan ada tambahannya, yaitu: “Dialah Nabi terakhir dari keturunanmu.”8

Tawasul Pada masa hidupnya

Ahmad bin Hanbal, at-Turmudzi, Ibnu Majah dan al-Bahaqi meriwayatkan dari Usman bin Hanif yang menceritakan bahwa ada seorang laki-laki buta mendatangi Nabi saw lalu berkata: “Berdoalah kepada Allah untuk menyembuhkanku.” Rasulullah bersabda: “Jika engkau menghendaki itu, aku bisa mendoakanmu, dan jika engkau mampu bersabar maka itu lebih baik bagimu.” Lalu orang itu berkata: “Doakanlah saja.” Kemudian Rasulullah saw menyuruhnya untuk berwudhu, dan orang tersebut betul-betul menyempurnakan wudhunya dan berdoa dengan doa ini: “Ya Allah, aku memohon (meminta) dan menghadap dengan perantara Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap Tuhanku dengan perantara-Mu untuk meminta kebutuhanku supaya dikabulkan. Ya Allah, berikanlah syafaatnya kepadaku.”9 Hadis ini dianggap sahih oleh al-Baihaqi dan Turmudzi. (Baca: Mutiara Hadis Maksumin as: “Lisan”)

Tawasul Setelah Wafat Nabi saw

At-Tabrani meriwayatkan hadis dalam al-Mu`jam al-Kabir dari Usman bin Hanif. At-Tabrani bercerita: Ada seorang laki-laki mengadukan keperluannya kepada Usman bin Affan tapi Usman tidak memperhatikannya dan tidak memenuhi kebutuhannya. Lalu orang itu menemui Ibnu Hanif dan mengeluh padanya atas kejadian itu. Ustman bin Hanif berkata: “Datangilah tempat wudhu, lalu berwudhulah, kemudian datanglah ke Masjid dan shalatlah dua rokaat serta berdoalah : ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan aku menghadap-Mu dengan perantara Nabi-Mu Muhammad saw, Nabi yang penuh dengan rasa kasih sayang. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap Tuhanku dengan perantara namamu agar dikabulkan hajat (kebutuhan)ku.” Pada saat itu sebutkan hajatmu. Lalu pergilah orang laki-laki itu dan melakukan apa yang telah disampaikan padanya. Kemudian ia mendatangi  rumah Usman bin Affan lalu ia ditemui oleh penjaga pintu dan dibawa untuk menghadap Usman, lalu Ustman mempersilakannya untuk duduk di atas permadani bersamanya seraya berkata: “Apa kebutuhanmu?” Lalu laki-laki itu menyebutkan keperluannya dan Usman memenuhinya. Kemudian Usman berkata pada orang itu: “Mengapa kamu tidak menyebutkan hajatmu dari tadi?” Seharusnya kamu menyebutkan hajatmu.”10 (Baca: Bagaimana AlQuran Mengajarkan Manajemen Stres? – 1)

Dengan adanya hadis-hadis ini, yang berasal dari sunah Rasulullah saw, seharusnya tidak terjadi perbedaan dalam sifat-sifat nabi, terutama Nabi terakhir dan apa yang telah Allah karuniakan dan khususkan untuk mereka dibandingkan seluruh manusia lainnya. Dan tawasul mestinya tidak perlu dijadikan polemik karena sudah ada nas dan dalil tegas yang mendukungnya. Lagi pula, tawasul itu bentuk ikatan dan hubungan antara umat dan Nabinya dan bukti kecintaan mereka kepada beliau sehingga bukan saja ia tidak dianggap syirik bahkan sejatinya hakikat tauhid.[*]

Refensi:

8 Mustadrak, karya al-Hakim: Kitab tarikh (akhir kitab kebangkitan ): 2/615. Majma` az-Zawaid: 8/253. Tahqiq an-Nusrah, karya al-Maroghi, (816 H ), halaman: 113–114. Dialah yang menukil dari at-Tabrani.

9Musnad Ahmad: 4/138. Sunan at-Turmudzi: Kitab Ad-da`awat (doa-doa): 13/80-81. Sunan Ibnu Majah: Kitab mendirikan shalat dan sunah dalam shalat, bab: hadis-hadis tentang shalat hajat, hadis: 1385, hal. 441. Ibnu al-Atsir dengan sanad-nya tentang riwayat Usman bin Hanif (Asadul Ghabah). Al-Baihaqi dengan riwayat penulis kitab Tahqiq an-Nusrah, hal. 114.

Sengaja kami cantumkan redaksi Imam Ahmad bi Hambal karena orang-orangyang mengingkari adanya syafaat termasuk pengikut dua orang syekh, yaitu Ibnu Taimiah dan Ibnu Abdul wahhab. Mereka termasuk pengikut Ahmad bin Hambal.

10 Tahqiq an-Nusrah, hal. 114–115 yang diriwayatka oleh at-Tabrani dalam Mu`jam al-Kabir.

Baca: “Sang Alim yang Syahid Muda

 

No comments

LEAVE A COMMENT